Kamis, 14 Mei 2015

Al-A'raf, ayat 205-206

{وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ (205) إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيُسَبِّحُونَهُ وَلَهُ يَسْجُدُونَ (206) }
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka menasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya-lah mereka bersujud
Allah Swt. memerintahkan hamba-hamba-Nya agar banyak melakukan zikir menyebut asma-Nya pada permulaan siang hari dan pada penghujungnya, sebagaimana Dia memerintahkan agar melakukan ibadah kepada-Nya pada kedua waktu tersebut. Hal ini Dia ungkapkan melalui firman-Nya:
{وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ}
dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya). (Qaf: 39)
Hal ini terjadi sebelum salat lima waktu difardukan pada malam Isra, dan ayat ini termasuk ayat periode Mekah (Makkiyyah). Dalam ayat ini disebutkan al-guduwwu yang artinya permulaan siang hari. Al-asal adalah bentuk jamak dari lafaz asil se-wazan dengan lafaz aiman yang merupakan bentuk jamak dari lafaz yamin.
Adapun mengenai makna firman-Nya:
{تَضَرُّعًا وَخِيفَةً}
dengan merendahkan diri dan rasa takut. (Al-A'raf: 205)
Artinya, sebutlah nama Tuhanmu dalam dirimu dengan penuh rasa harap dan takut, yakni dengan suara yang tidak terlalu keras. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ}
dan dengan tidak mengeraskan suara. (Al-A'raf: 205)
Untuk itulah maka zikir disunatkan dilakukan bukan dengan ucapan yang keras sekali. Sehubungan dengan hal ini Rasulullah Saw. pernah ditanya, "Apakah Tuhan kami dekat, maka kami akan berbicara dengan suara perlahan? Ataukah jauh, maka kami akan berbicara dengannya dengan suara yang keras?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
{وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ}
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186)
Di dalam kitab Sahihain dari Abu Musa Al-Asy'ari r.a. disebutkan bahwa orang-orang mengeraskan suaranya dalam berdoa ketika mereka sedang melakukan suatu perjalanan. Maka Nabi Saw. bersabda kepada mereka:
"أَيُّهَا النَّاسُ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لَا تدعون أصمَّ وَلَا غَائِبًا؛ إِنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ"
Hai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya kalian bukan berdoa kepada Tuhan yang tuli, tidak pula yang gaib. Sesungguhnya Tuhan yang kalian sedang menyeru-Nya Maha Mendengar lagi Mahadekat, Dia lebih dekat kepada seseorang di antara kalian daripada pegangan pelana unta kendaraannya
Barangkali makna yang dimaksud oleh ayat ini seperti pengertian yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا}
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu, janganlah pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara keduanya itu.(Al-Isra: 110) .
Karena sesungguhnya dahulu orang-orang musyrik apabila mendengar suara Al-Qur'an dibacakan, maka mereka mencacinya, mencaci Tuhan yang menurunkannya, juga mencaci nabi yang menyampaikannya. Maka Allah memerintahkan kepada Nabi Saw. untuk tidak mengeraskan bacaan Al-Qur'an, agar orang-orang musyrik tidak mencacinya; jangan pula merendahkan bacaannya dari sahabat-sahabatnya karena mereka tidak dapat mendengarnya, tetapi hendaklah mengambil jalan tengah di antara bacaan keras dan bacaan rendah. Hal yang sama telah dikatakan pula olehnya sehubungan dengan makna firman-Nya:
{وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ}
dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (Al-A'raf: 205)
Ibnu Jarir menduga tetapi —sebelumnya telah menduga pula Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam— bahwa makna yang dimaksud oleh ayat ini ialah perintah ditujukan kepada orang yang mendengar bacaan Al-Qur'an agar melakukan zikir dengan sifat yang telah disebutkan dalam ayat. Tetapi pendapat ini jauh dari kebenaran serta bertentangan dengan makna insat (mendengar dengan penuh perhatian dan tenang) yang diperintahkan. Kemudian makna yang dimaksud ialah dalam keadaan salat —seperti yang telah disebutkan di atas— atau dalam salat dan khotbah. Dan telah kita maklumi semua bahwa melakukan insat dalam saat seperti itu jauh lebih utama daripada melakukan zikir dengan lisan, baik zikir dengan suara perlahan ataupun suara keras. Pendapat yang dikemukakan oleh keduanya ini tidak layak untuk diikuti, bahkan makna yang dimaksud ayat ini ialah anjuran untuk melakukan banyak zikir bagi hamba-hamba Allah di waktu pagi dan petang hari agar mereka tidak termasuk golongan orang-orang yang lalai. Karena itulah Allah Swt. memuji para malaikat yang selalu bertasbih sepanjang malam dan siang hari tanpa hentinya. Hal ini diungkapkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ
Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah. (Al-A'raf: 206), hingga akhir ayat.
Sesungguhnya para malaikat disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat ini hanyalah agar mereka dijadikan panutan dalam hal ketaatan dan ibadahnya. Karena itulah maka kita disyariatkan melakukan sujud dalam pembacaan ayat ini, yaitu di saat disebutkan sujud mereka (para malaikat) kepada Allah Swt.
Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut:
"أَلَا تُصَفُّونَ كَمَا تُصَفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا، يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الأوَل، ويتَراصُّون فِي الصَّفِّ"
Tidakkah kalian bersaf sebagaimana para malaikat bersaf di hadapan Tuhannya? Mereka melengkapkan safnya saf demi saf dan mereka menyusun safnya
Ayat ini merupakan ayat Sajdah di dalam Al-Qur'an, yaitu salah satu di antara ayat-ayat yang disunatkan bagi pembaca dan pendengarnya melakukan sujud tilawah, menurut kesepakatan ijma*.
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah melalui Abu Darda, dari Nabi Saw., disebutkan bahwa Nabi Saw. memasukkan ayat ini ke dalam ayat sujud tilawah Al-Qur'an.
آخَرُ [تَفْسِيرِ] سُورَةِ الْأَعْرَافِ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ والمنة.

continue reading Al-A'raf, ayat 205-206

Al-A'raf, ayat 204

{وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (204) }
Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat.
Setelah Allah Swt. menyebutkan bahwa Al-Qur'an adalah bukti-bukti yang nyata bagi manusia dan petunjuk serta rahmat bagi mereka, lalu Allah Swt. memerintahkan agar mereka mendengarkannya baik-baik serta penuh perhatian dan tenang di saat Al-Qur'an dibacakan, untuk mengagungkan dan menghormatinya; janganlah seperti yang sengaja dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy saat mendengarnya, seperti yang disitir oleh Al-Qur*an, bahwa mereka berkata:
لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ
Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya. (Fushshilat: 26), hingga akhir ayat.
Keharusan ini bertambah kukuh dalam salat fardu bila imam membacanya dengan suara keras, seperti yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya melalui hadis Abu Musa Al-Asy'ari r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا"
Sesungguhnya imam itu dijadikan hanyalah untuk diikuti. Maka apabila imam bertakbir, bertakbirlah kalian; dan apabila imam membaca (Al-Qur'an), dengarkanlah (bacaannya) dengan penuh perhatian dan tenang.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh para pemilik kitab Sunnah melalui hadis Abu Hurairah. Hadis ini dinilai sahih oleh Muslim ibnul Hajjaj, tetapi ia sendiri tidak mengetengahkan riwayat ini dalam kitabnya.
Ibrahim ibnu Muslim Al-Hajri telah meriwayatkan dari Abu Iyad, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa pada awal mulanya mereka sering berbicara dalam salat, tetapi ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik (Al-A'raf: 204) dan ayat berikutnya, maka mereka diperintahkan untuk tenang.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Asim, dari Al-Musayyab ibnu Rafi' yang mengatakan bahwa Ibnu Mas'ud pernah menceritakan, "Dahulu para sahabat biasa mengucapkan salam di antara sesamanya dalam salat, "maka turunlah ayat yang mengatakan: Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat. (Al-A'raf: 204)
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Al-Muharibi, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Basyir ibnu Jabir yang mengatakan bahwa Ibnu Mas'ud ketika sedang salat mendengar sejumlah orang ikut membaca Al-Qur'an bersama imam. Setelah Ibnu Mas'ud selesai dari salatnya, ia mengatakan, "Ingatlah, sekarang sudah saatnya bagi kalian untuk mengerti dan sudah saatnya untuk menggunakan pikiran. 'Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang.' (Al-A'raf: 204) Seperti yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abus Saib, telah menceritakan kepada kami Hafs, dari Asy'as, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang pemuda dari kalangan Ansar. Disebutkan bahwa setiap kali Rasulullah Saw. membaca Al-Qur*an dalam salatnya, maka pemuda itu ikut membacanya pula, lalu turunlah ayat ini: Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang. (Al-A'raf: 204)
Imam Ahmad dan para pemilik kitabSunnah telah meriwayatkan melalui hadis Az-Zuhri, dari Abu Aktamah Al-Laisi, dari Abu Hurairah, bahwa setelah Rasulullah Saw. selesai dari salat yang keras bacaannya, beliau bersabda:
"هَلْ قَرَأَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مَعِي آنِفًا؟ " قَالَ رَجُلٌ: نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ إِنِّي أَقُولُ: مَا لِي أُنَازَعُ الْقُرْآنَ؟ "
"Apakah ada seseorang di antara kalian yang ikut membaca bersamaku?" Seorang lelaki menjawab, "Ya saya wahai Rasulullah " Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku akan mengatakan, 'Saya tidak akan bersaing dalam Al-Qur’an'.”
Maka sejak saat itu orang-orang berhenti dari kebiasaan membaca bersama Rasulullah Saw. dalam salat yang keras bacaannya, yaitu sejak mereka mendengar hal tersebut dari Rasulullah Saw. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan, dan dinilai sahih oleh Abu Hatim Ar-Razi.
Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dan Yunus, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa orang yang berada di belakang imam tidak boleh ikut membaca dalam salat yang bacaannya dikeraskan oleh imam. Bacaannya sudah cukup ditanggung oleh bacaan imam, sekalipun imam tidak memperdengarkan bacaannya kepada mereka. Tetapi mereka harus membaca dalam salat yang imam tidak mengeraskan bacaannya padanya, yaitu dengan suara yang perlahan dan hanya dapat didengar oleh mereka sendiri. Seseorang yang berada di belakang imam tidak layak pula ikut membaca bersama imam dalam salat jahriyah-nya, baik dengan bacaan perlahan maupun keras, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat. (Al-A'raf: 204)
Menurut kami, pendapat di atas merupakan pendapat segolongan ulama. Mereka mengatakan bahwa makmum tidak wajib membaca dalam salat yang bacaannya dikeraskan oleh imam, baik Fatihahnya maupun surat lainnya. Demikianlah menurut salah satu di antara dua pendapat di kalangan mazhab Syafi'i. Pendapat ini merupakan qaul qadim dari Imam Syafi'i, sama dengan mazhab Imam Malik dan suatu riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal, karena berdasarkan dalil yang telah disebutkan di atas.
Imam Syafi'i dalam qaul jadid-nya mengatakan.”Makmum hanya diperbolehkan membaca Al-Fatihah saja. yaitu di saat imam sedang diam.”Pendapat ini dikatakan oleh sejumlah sahabat dan tabi'in serta orang-orang sesudah mereka.
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mengatakan bahwa makmum sama sekali tidak wajib melakukan bacaan, baik dalam salat sirriyyah maupun dalam salat jahriyyah (salat yang pelan bacaannya dan salat yang keras bacaannya), karena berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:
"مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَتُهُ لَهُ قِرَاءَةٌ"
Barang siapa yang mempunyai imam, maka bacaan yang dilakukan oleh imam merupakan bacaannya pula.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya melalui Jabir secara marfu'. Di dalam kitab Muwatta' Imam Malik hadis ini diriwayatkan melalui Wahb ibnu Kaisan, dari Jabir secara mauquf, dan apa yang disebutkan di dalam kitab Muwatta' ini lebih sahih.
Masalah ini diketengahkan dengan penjabaran yang lebih rinci pada bagian lain dari kitab ini. Imam Abu Abdullah Al-Bukhari telah menulis suatu tulisan tersendiri yang membahas masalah ini secara rinci, tetapi pada akhirnya ia memilih pendapat yang mewajibkan membaca bagi makmum dalam salat jahriyyah maupun salat sirriyyah.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan makna firman-Nya: Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang. (Al-A'raf: 204) Yakni dalam salat fardu. Hal yang sama diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mugaffal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Mas'adah, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Mufaddal, telah menceritakan kepada kami Al-Jariri, dari Talhah ibnu Ubaidillah ibnu Kuraiz yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Ubaid ibnu Umair dan Ata ibnu Abu Rabah sedang berbincang-bincang, sedangkan di dekat keduanya ada seseorang sedang membaca Al-Qur'an. Maka ia berkata, "Mengapa kamu berdua tidak mendengarkan Al-Qur'an yang akibatnya kamu berdua akan terkena ancaman?" Tetapi keduanya hanya memandang ke arahku, kemudian melanjutkan obrolan lagi. Lalu ia mengulangi tegurannya, tetapi mereka hanya memandang ke arahku, lalu melanjutkan obrolan mereka. Ketika ia mengulangi teguran untuk ketiga kalinya, maka keduanya memandang ke arahku, lalu mengatakan bahwa sesungguhnya hal yang disebutkan oleh ayat berikut hanyalah jika dalam salat, yaitu firman-Nya: Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang. (Al-A'raf: 204)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri, dari Abu Hasyim Ismail ibnu Kasir, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang. (Al-A'raf: 204) Yakni di dalam salat. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh sejumlah orang, dari Mujahid.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari As-Sauri, dari Al-Lais, dari Mujahid yang mengatakan bahwa tidak apa-apa berbicara bila seseorang membaca Al-Qur'annya di luar salat. Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, Ibrahim An-Nakha*i, Qatadah, Asy-Sya'bi, As-Saddi, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa yang dimaksud dengan perintah mendengarkan bacaan Al-Qur'an adalah dalam salat.
Syu'bah telah meriwayatkan dari Mansur yang pernah mendengar Ibrahim ibnu Abu Hamzah bercerita bahwa ia pernah mendengar Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang (Al-A'raf: 204) Yakni dalam salat dan khotbah Jumat. Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Ata.
Hasyim telah mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Sabih, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa hal tersebut bila berada di dalam salat dan di saat sedang berzikir.
Ibnul Mubarak telah mengatakan dari Baqiyyah yang pernah mendengar Sabit ibnu Ajlan mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perbaikanlah dengan tenang. (Al-A’raf: 204) Bahwa kewajiban mendengarkan ini ialah dalam salat Hari Raya Kurban, Hari Raya Fitri, hari Jumat, dan salat-salat yang imam mengeraskan bacaan Al-Qur’an padanya.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, bahwa yang dimaksud dengan hal tersebut ialah mendengarkan bacaan Al-Qur'an dalam salat dan khotbah, seperti yang disebutkan oleh banyak hadis yang memerintahkan mendengarkan bacaan Al-Qur'an dengan tenang di belakang imam dan di saat sedang khotbah.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari As-Sauri, dari Lais, dari Mujahid, bahwa ia menganggap makruh bila imam sedang membaca ayat khauf atau ayat rahmat, lalu ada seseorang di belakang imam mengucapkan sesuatu. Mujahid mengatakan bahwa semuanya harus tetap diam.
Mubarak ibnu Fudalah telah meriwayatkan dari Al-Hasan, "Apabila engkau duduk mendengarkan Al-Qur’an, maka perhatikanlah bacaannya dengan tenang."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ مَيْسَرَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنِ اسْتَمَعَ إِلَى آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ، كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ مُضَاعَفَةٌ، وَمَنْ تَلَاهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Maisarah, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa mendengarkan suatu ayat dari Kitabullah, maka dicatatkan baginya kebaikan yang berlipat ganda. Dan barang siapa yang membacanya, maka ia mendapat nur (cahaya) di hari kiamat.
Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad. 
continue reading Al-A'raf, ayat 204

Al-A'raf, ayat 203

{وَإِذَا لَمْ تَأْتِهِمْ بِآيَةٍ قَالُوا لَوْلا اجْتَبَيْتَهَا قُلْ إِنَّمَا أَتَّبِعُ مَا يُوحَى إِلَيَّ مِنْ رَبِّي هَذَا بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (203) }
Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al-Qur’an kepada mereka, mereka berkata, "Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?” Katakanlah, "Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al-Qur’an ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhan kalian, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman."
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: mereka berkata, "Mengapa kamu tidak membuat sendiri ayat itu?” (Al-A'raf: 203) Yakni mengapa engkau tidak menerimanya. Di lain kesempatan Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah 'mengapa tidak kamu buat sendiri, lalu kamu mengatakannya'.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Abdullah Ibnu Kasir dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al-Qur’an kepada mereka, mereka berkata, "Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?" (Al-A'raf: 203) Artinya, mengapa tidak engkau karang sendiri. Mereka bermaksud 'Mengapa tidak engkau keluarkan dari dirimu sendiri'. Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah, As-Saddi, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, kemudian dipilih oleh Ibnu Jarir.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu? (Al-A'raf: 203) Menurutnya makna yang dimaksud ialah 'mengapa tidak engkau terima sendiri dari Allah Swt.'.
Ad-Dahhak telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu? (Al-A'raf: 203) Bahwa makna yang dimaksud ialah 'mengapa tidak kamu ambil sendiri dari langit, lalu kamu sampaikan'.
*******************
Firman-Nya:
{وَإِذَا لَمْ تَأْتِهِمْ بِآيَةٍ}
Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat kepada mereka. (Al-A'raf: 203)
Makna yang dimaksud ayat di atas ialah mukjizat yang berbeda dengan hukum alam. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{إِنْ نَشَأْ نُنزلْ عَلَيْهِمْ مِنَ السَّمَاءِ آيَةً فَظَلَّتْ أَعْنَاقُهُمْ لَهَا خَاضِعِينَ}
Jika Kami kehendaki, niscaya Kami menurunkan kepada mereka mukjizat dari langit, maka senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya. (Asy-Syu'ara: 4)
Mereka berkata kepada Rasulullah Saw., "Mengapa kamu tidak bersusah payah dalam mencari ayat-ayat dari Allah hingga kami dapat melihatnya secara langsung, lalu kami beriman kepadanya?" Allah Swt. berfirman kepada Rasul Saw.:
{قُلْ إِنَّمَا أَتَّبِعُ مَا يُوحَى إِلَيَّ مِنْ رَبِّي}
Katakanlah, "Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan kepadaku dari Tuhanku.” (Al-A'raf: 203)
Yakni aku tidak berani berbuat suatu kelancangan terhadap Allah Swt., dan sesungguhnya aku hanyalah mengikut apa yang diperintahkan oleh Tuhanku kepadaku, lalu aku mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya kepadaku. Jika aku diperintahkan untuk menyampaikan suatu ayat, maka akan aku terima; dan jika Dia mencegahnya, maka aku tidak akan memintanya dari keinginan diriku sendiri, kecuali jika Allah memberikan izin-Nya kepadaku untuk hal tersebut. Karena sesungguhnya Dia Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.
Kemudian Allah memberikan petunjuk kepada mereka bahwa Al-Qur’an ini adalah mukjizat yang paling besar, dan Al-Qur'an merupakan bukti yang paling jelas serta hujah yang paling benar dan keterangan yang paling nyata. Untuk itu Allah Swt berfirman:
{هَذَا بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ}
Al-Qur'an ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhan kalian, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Al-A'raf: 203)
continue reading Al-A'raf, ayat 203

Al-A'raf, ayat 201-202

{إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ (201) وَإِخْوَانُهُمْ يَمُدُّونَهُمْ فِي الْغَيِّ ثُمَّ لَا يُقْصِرُونَ (202) }
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu setan-setan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan).
Allah Swt menceritakan perihal hamba-hamba-Nya yang bertakwa, yaitu orang-orang yang taat dalam menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua hal yang dilarang-Nya, bahwa keadaan mereka itu:
{إِذَا مَسَّهُمْ}
Apabila mereka ditimpa (Al-A'raf: 201)
yakni bilamana mereka terkena godaan. Sebagian ulama membaca­nya ta-ifun (bukan taifun), sehubungan dengan qiraat ini ada hadis yang menerangkannya; kedua qiraat ini merupakan qiraat yang terkenal. Menurut pendapat lain, kedua qiraat tersebut mempunyai makna yang sama; dan menurut pendapat yang lainnya lagi ada bedanya. Ada ulama yang menafsirkannya dengan pengertian al-gadab (amarah), ada yang menafsirkannya dengan pengertian sentuhan dari setan, yakni pingsan dan lain sebagainya; ada yang menafsirkannya dengan pengertian dosa, ada pula yang menafsirkannya dengan pengertian melakukan perbuatan dosa.
Firman Allah Swt.:
{تَذَكَّرُوا}
mereka ingat kepada Allah (Al-A'raf: 201)
Maksudnya, mereka teringat akan azab Allah, pahala-Nya yang berlimpah, janji, dan ancaman-Nya. Karena itu, lalu mereka bertobat dan memohon perlindungan kepada Allah serta segera kembali kepada-Nya.
{فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ}
maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (Al­A'raf: 201)
Yakni mereka bangkit dan sadar dari keadaan sebelumnya.
Dalam hal ini Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih telah menceritakan sebuah hadis yang ia riwayatkan melalui Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa seorang wanita datang kepada Nabi Saw. dalam keadaan sakit Lalu wanita itu berkata, "Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah semoga Dia menyembuhkan diriku." Rasulullah Saw. bersabda:
"إِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ فَشَفَاكِ، وَإِنْ شِئْتِ فَاصْبِرِي وَلَا حِسَابَ عَلَيْكِ". فَقَالَتْ: بَلْ أَصْبِرُ، وَلَا حِسَابَ عَلَيَّ.
Jika engkau suka (aku mendoakanmu), maka aku akan berdoa kepada Allah, dan Dia akan menyembuhkanmu. Tetapi jika engkau suka bersabar, maka bersabarlah, dan kelak tidak ada hisab atas dirimu. Wanita itu berkata, "Tidak, bahkan saya akan bersabar dan kelak saya tidak akan dihisab."
Hadis ini diriwayatkan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama pemilik kitab Sunnah. Menurut mereka wanita itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sering tak sadarkan diri, lalu pakaianku terbuka. Doakanlah kepada Allah semoga Dia menyembuhkanku." Maka Rasulullah Saw. bersabda:
إِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يَشْفِيَكَ، وَإِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ؟ " فَقَالَتْ: بَلْ أَصْبِرُ، وَلِيَ الْجَنَّةُ، وَلَكِنِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ، فَدَعَا لَهَا، فَكَانَتْ لَا تَتَكَشَّفُ.
Jika engkau menginginkan aku berdoa, maka aku akan berdoa dan Allah akan menyembuhkanmu. Dan jika engkau lebih suka bersabar, maka bersabarlah, dan engkau akan mendapat surga. Maka wanita itu berkata, "Tidak, bahkan aku lebih suka bersabar dan aku akan mendapat surga, tetapi doakanlah kepada Allah agar Dia jangan menjadikan aku membuka hijabku." Lalu Nabi Saw. berdoa untuk wanita itu, maka wanita itu tidak lagi membuka hijabnya (bila tak sadarkan dirinya).
Imam Hakim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab Mustadrak-nya, dan ia mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Imam Mus­lim; tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Al-Hafiz ibnu Asakir dalam Bab "Riwayat Hidup Amr ibnu Jami", bagian dari kitab Tarikh-nya, menyebutkan bahwa ada seorang pemuda yang sedang menekuni ibadah di dalam masjid. Lalu ada seorang wanita yang menyukainya, maka wanita itu merayunya agar ia mau menggauli dirinya. Wanita itu terus-menerus merayunya hingga hampir saja mereka berdua memasuki sebuah rumah. Tetapi pemuda itu teringat akan firman Allah Swt. yang mengatakan: Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (Al-A'raf: 201) Maka pemuda itu jatuh terjungkal dalam keadaan pingsan tak sadarkan diri. Kemudian ia sadar kembali, dan wanita tersebut datang menjenguknya, maka pemuda itu mendadak mati. Khalifah Umar datang kepada ayah si pemuda, berbelasungkawa atas kematiannya; dan jenazah si pemuda itu telah dikebumikan sejak malam harinya. Lalu Khalifah Umar pergi dan melakukan salat jenazah bersama orang-orang yang mengikutinya di atas kuburan pemuda itu. Kemudian Umar menyeru nama pemuda itu seraya membacakan firman-Nya: Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga. (Ar-Rahmah: 46) Maka pemuda itu menjawabnya dari dalam kuburan, "Wahai Umar, Tuhanku telah memberikannya kepadaku dua kali di dalam surga."
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَإِخْوَانِهِمْ}
Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu setan-setan. (Al-A'raf: 202)
Yakni teman-teman setan dari kalangan umat manusia, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain:
{إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ}
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan. (Al-Isra: 27)
Yang dimaksud dengan teman-teman setan ialah orang-orang yang mengikuti setan, mendengar perkataan setan, dan menaati semua perintahnya.
{يَمُدُّونَهُمْ فِي الْغَيِّ}
membantu setan-setan dalam menyesatkan. (Al-A'raf: 202)
Artinya, setan-setan membantu mereka dalam berbuat maksiat dan memudahkan perbuatan-perbuatan maksiat bagi mereka serta menghiasinya bagi mereka hingga mereka tertarik untuk mengerjakannya. Ibnu Kasir mengatakan bahwa makna al-maddu artinya menambah, yakni setan-setan itu menambahkan kebodohan dan kedunguan kepada mereka.
{ثُمَّ لَا يُقْصِرُونَ}
dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan). (Al-A'raf: 202)
Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah 'sesungguhnya setan-setan itu membantu manusia (dalam mengerjakan maksiat) dan tidak akan menghentikan perbuatan mereka', seperti yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan teman-teman mereka membantu mereka dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan). (Al-A'raf: 202) Ibnu Abbas mengatakan bahwa manusia itu tidak hentinya melakukan apa yang mereka kerjakan, dan setan pun tidak pernah berhenti dari menggoda mereka.
Menurut pendapat lainnya lagi, makna yang dimaksud ialah seperti apa yang diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan teman-teman mereka membantu mereka dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan). (Al-A'rif: 202) Mereka adalah jin yang memberikan ilham kepada teman-temannya dari kalangan manusia, kemudian tidak henti-hentinya menyesatkan mereka. Yang dimaksud dengan layuasirun ialah tidak bosan-bosannya menyesatkan mereka.
Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi dan lain-lainnya, bahwa setan-setan selalu membantu teman-temannya dari kalangan manusia untuk berbuat maksiat dan tiada bosan-bosannya membantu mereka dalam kejahatan, karena hal tersebut sudah merupakan watak dan pembawaan setan. dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan). (Al-A'raf: 202) Artinya, tidak pernah berhenti dalam menggoda dan tidak pernah bosan melancarkan rayuannya. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{أَلَمْ تَرَ أَنَّا أَرْسَلْنَا الشَّيَاطِينَ عَلَى الْكَافِرِينَ تَؤُزُّهُمْ أَزًّا}
Tidakkah kamu lihat bahwa Kami telah mengirim setan-setan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasut mereka berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh (Maryam: 83)
Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan, setan-setan itu menggoda manusia untuk berbuat kemaksiatan dengan godaan yang sebenar-benarnya.
continue reading Al-A'raf, ayat 201-202

AJ-A'raf, ayat 199-200

{خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (199) وَإِمَّا يَنزغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نزغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (200) }
Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (Al-A'raf: 199) Yakni ambillah dari lebihan harta mereka sejumlah yang layak untukmu, dan terimalah apa yang mereka berikan kepadamu dari harta mereka. Hal ini terjadi sebelum ayat yang memfardukan zakat diturunkan berikut rinciannya dan pembagian harta tersebut. Demikianlah menurut pendapat As-Saddi.
Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna Firman-Nya; Jadilah engkau pemaaf. (Al-A'raf. 199) Makna yang dimaksud ialah 'infakkanlah lebihan dari hartamu'. Menurut Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan al-'afwa dalam ayat ini ialah lebihan.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (Al-A'raf: 199) Allah memerintahkan Nabi Saw. agar bersifat pemaaf dan berlapang dada dalam menghadapi orang-orang musyrik selama sepuluh tahun. Kemudian Nabi Saw. diperintahkan untuk bersikap kasar terhadap mereka. Pandapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sejumlah orang telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (Al-A'raf: 199) Yakni terhadap sikap dan perbuatan orang lain tanpa mengeluh.
Hisyam ibnu Urwah telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa Allah Swt. telah memerintahkan Rasul-Nya agar bersifat memaaf terhadap akhlak dan perlakuan manusia (terhadap dirinya). Menurut riwayat yang lain, makna yang dimaksud ialah 'bersikap lapang dadalah kamu dalam menghadapi akhlak mereka'.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan dari Hisyam, dari ayahnya, dari Urwah, dari saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Zubair) yang mengatakan bahwa sesungguhnya ayat yang mengatakan, "Jadilah engkau pemaaf," yakni terhadap akhlak manusia.
Menurut riwayat lain dari selain Bukhari, disebutkan dari Hisyam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar. Dan menurut riwayat yang lainnya lagi disebutkan dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa keduanya pernah menceritakan hal yang semisal.
Di dalam riwayat Sa'id ibnu Mansur disebutkan dari Abu Mu'awiyah, dari Hisyam, dari Wahb Ibnu Kaisan, dari Abuz Zubair sehubungan dengan firman-Nya: jadilah engkau pemaaf. (Al- A’'raf: 199) Maksudnya dalam menghadapi akhlak manusia. Selanjutnya disebutkan, "Demi Allah, aku benar-benar akan bersikap lapang dada selama aku bergaul dengan mereka."
Riwayat inilah yang paling masyhur dan diperkuat oleh apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu' Jarir dan Ibnu Abu Hatim; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ubay yang menceritakan bahwa ketika Allah Swt. menurunkan ayat berikut kepada Nabi-Nya, yaitu firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A'raf: 199) Maka Rasulullah Saw. bertanya, "Hai Jibril, apakah artinya ini?" Jibril a.s. menjawab, "'Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu agar memaafkan terhadap perbuatan orang yang berbuat aniaya kepadamu, dan kamu memberi orang yang mencegahnya darimu, serta bersilaturahmi kepada orang yang memutuskannya darimu."
Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula dari Abu Yazid Al-Qaratisi secara tertulis, dari Usbu' ibnul Faraj, dari Sufyan, dari Ubay, dari Asy-Sya'bi hal yang semisal.
Semua riwayat yang telah disebutkan di atas berpredikat mursal dalam keadaan apa pun, tetapi telah diriwayatkan melalui jalur-jalur lain yang memperkuatnya. Telah diriwayatkan pula secara marfu' dari Jabir dan Qais ibnu Sa'd ibnu Ubadah, dari Nabi Saw. yang keduanya di-isnad-kan oleh Ibnu Murdawaih.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ رِفَاعَةَ، حَدَّثَنِي عَلِيِّ بْنِ يَزِيدَ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: لَقِيتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَابْتَدَأْتُهُ، فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبَرْنِي بِفَوَاضِلِ الْأَعْمَالِ. فَقَالَ: "يَا عُقْبَةُ، صِلْ مَنْ قَطَعَكَ، وَأَعْطِ مَنْ حَرَمَكَ، وَأَعْرِضْ عَمَّنْ ظَلَمَكَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Syu'bah. telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Rifa'ah. telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Yazid, dari Al-Qasim ibnu Abu Umamah Al-Bahili, dari Uqbah ibnu Amir r.a. yang menceritakan bahwa ia bersua dengan Rasulullah Saw., lalu ia mengulurkan tangannya, menyalami tangan Rasulullah Saw., kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepadaku tentang amal-amal perbuatan yang paling utama." Rasulullah Saw, bersabda: Hai Uqbah. bersilaturahmilah kamu kepada orang yang memutus­kannya darimu, berilah orang yang mencegahnya darimu, dan berpalinglah dari orang yang aniaya kepadamu.
Imam Turmuzi telah meriwayatkan hal yang semisal melalui jalur Ubaidillah ibnu Zuhar, dari Ali ibnu Yazid dengan lafaz yang sama, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan.
Menurut kami. Ali ibnu Yazid dan gurunya —Al-Qasim alias Abu Abdur Rahman— berpredikat daif.
Imam Bukhari telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:   Jadilah engkau pemaafdan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A'raf: 199) Yang dimaksud dengan al-'urfu ialah hal yang makruf (bajik).
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri; telah menceritakan kepadaku Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah, bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan, "Uyaynah ibnu Husatn ibnu Huzaifah tiba (di Madinah), lalu menginap dan tinggal di rumah kemenakannya, yaitu Al-Hurr ibnu Qais. Sedangkan Al-Hurr termasuk salah seorang di antara orang-orang yang terdekat dengan Khalifah Umar. Tersebut pula bahwa teman-teman semajelis Umar dan dewan permusyawaratannya terdiri atas orang-orang tua dan orang-orang muda. Lalu Uyaynah berkata kepada kemenakannya, 'Hai kemenakanku, engkau adalah orang yang dikenai oleh Amirul Mu’minin, maka mintakanlah izin masuk mene­muinya bagiku." Al-Hurr berkata, 'Saya akan memintakan izin buatmu untuk bersua dengannya'." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Lalu Al-Hurr meminta izin buat Uyaynah kepada Umar, dan Khalifah Umar memberinya izin untuk menemui dirinya. Ketika Uyaynah masuk menemui Umar, Uyaynah berkata. 'Hai Umar. demi Allah, engkau tidak memberi kami dengan pemberian yang berlimpah, dan engkau tidak menjalankan hukum dengan baik di antara sesama kami.' Maka Khalifah Umar murka, sehingga hampir saja ia menampar Uyaynah, tetapi Al-Hurr berkata kepadanya,' Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya Allah Swt. pernah berfirman kepada Nabi-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A'raf: 199) Dan sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh." Demi Allah, ketika ayat itu dibacakan kepada Umar. Umar tidak berani melanggarnya, dan Umar adalah orang yang selalu berpegang kepada Kitabullah" Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari secara munfarid.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'Ia secara qiraat, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Anas, dari Abdullah ibnu Nafi', bahwa Salim ibnu Abdullah ibnu Umar bersua dengan iringan kafilah negeri Syam yang membawa sebuah lonceng. Maka Salim ibnu Abdullah berkata, "Sesungguhnya barang ini diharamkan." Mereka menjawab, "Kami lebih mengetahui daripada kamu tentang hal ini. Sesungguhnya yang tidak disukai hanyalah lonceng besar, sedangkan lonceng seperti ini tidak apa-apa." Salim diam dan merenungkan firman-Nya: serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh, (Al-A'raf: 199)
Menurut Imam Bukhari, yang dimaksud dengan istilah al-'urfu dalam ayat ini ialah perkara yang makruf (bajik). Ia menukilnya dari nas yang dikatakan oleh Urwah ibnuz Zubair, As-Saddt, Qatadah, Ibnu Jarir, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan bahwa bila dikatakan aulaituhu ma'rufan, "arifa, ‘arifatan, semuanya bermakna makruf, yakni saya mengulurkan kebajikan kepadanya. Ibnu Jarir mengatakan, Allah telah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar menganjurkan semua hambanya untuk berbuat kebajikan, dan termasuk ke dalam kebajikan ialah mengerjakan ketaatan dan berpaling dari orang-orang yang bodoh.
Sekalipun hal ini merupakan perintah kepada Nabi-Nya, sesungguhnya hal ini juga merupakan pelajaran bagi makhluk-Nya untuk bersikap sabar dalam menghadapi gangguan orang-orang yang berbuat aniaya kepada mereka dan memusuhi mereka. Tetapi pengertiannya bukan berarti berpaling dari orang-orang yang tidak mengerti perkara yang hak lagi wajib yang termasuk hak Allah, tidak pula bersikap toleransi terhadap orang-orang yang ingkar kepada Allah, tidak mengetahui keesaan-Nya, maka hal tersebut harus diperangi oleh kaum muslim.
Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A'raf: 199) Hal ini merupakan akhlak yang diperintahkan oleh Allah Swt untuk disandang oleh Nabi-Nya, dan Allah Swt. memberinya petunjuk ke akhlak ini. Sebagian orang yang bijak ada yang menuangkan pengertian ini ke dalam dua bait syair berikut:
خُذ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بعُرفٍ كَمَا ... أُمِرتَ وأعْرض عَنِ الجَاهلينْ ...
وَلِنْ فِي الكَلام لكُلِّ الْأَنَامِ ... فَمُسْتَحْسَن مِنْ ذَوِي الْجَاهِ لِينْ ...
Jadilah kamu pemaaf dan serulah (orang-orang) berbuat kebajikan, sebagaimana engkau diperintahkan. Dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh Dan lemah-lembutlah dalam berbicara kepada semua orang, maka hal yang baik bagi orang yang berkedudukan ialah berkata dengan lemah-lembut.
Sebagian ulama mengatakan bahwa manusia itu ada dua macam: Pertama, orang yang baik; terimalah kebajikan yang diberikannya kepadamu, janganlah kamu membebaninya dengan sesuatu yang di luar kemampuannya, jangan pula sesuatu yang menyempitkan dirinya. Adapun terhadap orang yang kedua, yaitu orang yang buruk, maka perintahkanlah dia untuk berbuat yang makruf. Jika ia tetap tenggelam di dalam kesesatannya serta membangkang —tidak mau menuruti nasihatmu— serta terus-menerus di dalam kebodohannya, maka ber­palinglah kamu darinya. Mudah-mudahan berpalingmu darinya dapat menolak tipu muslihatnya terhadap dirimu, seperti yang disebutkan oleh firman Allah Swt.:
{ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ * وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ * وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ}
Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik, Kami mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau, ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.” (Al-Mu’minun: 96-98)
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ * وَمَا يُلَقَّاهَا} أَيْ هَذِهِ الْوَصِيَّةَ {إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ * وَإِمَّا يَنزغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نزغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ}
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah teman yang setia Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Fushshilat: 34-35)
Yakni orang yang beroleh wasiat ini. Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Swt berfirman:
{وَإِمَّا يَنزغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نزغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}
Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Al-A'raf: 200)
Sedangkan dalam surat ini (yakni Al-A'raf) disebutkan pula hal yang sama, yaitu melalui firman-Nya:
{وَإِمَّا يَنزغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نزغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}
Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-A'raf: 200)
ketiga ayat ini berada di dafam surat Al-A'raf, Al-Mu’minun, dan Ha-mim Sajdah, tidak ada lainnya lagi. Melaluinya Allah Swt. memberikan petunjuk tentang tata cara menghadapi orang yang berbuat maksiat, yaitu menghadapinya dengan cara yang baik, karena dengan cara inilah jbinalannya dalam berbuat maksiat dapat dihentikan dengan seizin Hah Swt. Karena itulah dalam surat Fushshilat disebutkan:
{فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ}
maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah teman yang setia. (Fushshilat: 34)
Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk meminta perlindungan ;pada-Nya dari godaan setan yang tidak kelihatan, karena sesunguhnya setan tidak senang bila kita berbuat kebaikan. Dan sesungguhnya setan itu hanya bertujuan untuk menghancurkan dan membinasakan kita cara keseluruhan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata igi kita dan bagi kakek moyang kita jauh sebefum kita (yakni Nabi dam).
Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan. (Al-A'raf: 200) yaitu jika setan menggodamu dengan perasaan marah yang karena itu kamu tidak mampu berpaling dari orang yang bodoh, dan justru kamu terdorong untuk memberinya pelajaran. maka berlindunglah kepada Allah. (Al-A'raf: 200) maksudnya, mintalah perlindungan kepada Allah dari godaannya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-A'raf: 200) Allah Maha Mendengar terhadap kebodohan orang yang berbuat kebodohan terhadap dirimu, dan Maha Mendengar terhadap permintaan perlindunganmu dari godaan setan serta lain-lainnya yang berupa obrolan orang lain. Tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya, Dia Maha mengetahui semua urusan makhluk-Nya, termasuk godaan setan yang telah merasuki hatimu.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (Al-A'raf: 199) Maka Nabi Saw. bertanya, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah dengan amarah?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Ajlah Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-A'raf: 200)
Menurut kami, pada permulaan pembahasan mengenai isti'azah (memohon perlindungan kepada Allah) telah disebutkan sebuah hadis tentang dua orang lelaki yang saling mencaci di hadapan Nabi Saw. Kemudian salah seorangnya marah, sehingga hidungnya mekar karena emosinya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"إِنِّي لِأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ". فَقِيلَ لَهُ، فَقَالَ: مَا بِي مِنْ جُنُونٍ
Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui suatu kalimat, seandainya dia mengucapkannya, niscaya akan lenyaplah dari dirinya emosi yang membakarnya, yaitu: "Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk".Ketika disampaikan kepada lelaki itu apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw., maka si lelaki yang emosi itu menjawab, "Saya tidak gila."
Asal makna dari lafaz an-nazgu ialah kerusakan, penyebabnya adakalanya karena marah (emosi) atau lainnya. Sehubungan dengan pengertian ini disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزغُ بَيْنَهُمْ}
Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. (Al-Isra: 53)
Makna al-'iyaz ialah memohon perlindungan, naungan, dan pem­bentengan dari ulah kejahatan. Sedangkan al-malaz. pengertiannya tertuju kepada memohon kebaikan, juga pengertian memohon perlindungan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Al-Hasan ibnu Hani' dalam syairnya:
يَا مَنْ ألوذُ بِهِ فيمَا أؤمِّلُه ... وَمَنْ أعوذُ بِهِ مِمَّا أحَاذرُه ...
لَا يَجْبر النَّاسُ عَظمًا أَنْتَ كاسرُه ... وَلَا يَهِيضُون عَظمًا أَنْتَ جَابِره...
Wahai Tuhan yang aku berlindung kepada-Nya dalam memohon apa yang aku cita-citakan, dan Yang aku berlindung kepada-Nya dari semua yang aku hindari.
Tiada seorang manusia pun yang dapat menambal tulang yang telah Engkau pecahkan, dan mereka tidak akan dapat mematahkan suatu tulangpun yang telah Engkau tambal.
Mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah isti'azah (memohon perlindungan kepada Allah) kebanyakan telah kami kemukakan, sehingga tidak perlu diulangi lagi.
continue reading AJ-A'raf, ayat 199-200

Al-A'raf, ayat 191-198

{أَيُشْرِكُونَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ (191) وَلا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ (192) وَإِنْ تَدْعُوهُمْ إِلَى الْهُدَى لَا يَتَّبِعُوكُمْ سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ أَدَعَوْتُمُوهُمْ أَمْ أَنْتُمْ صَامِتُونَ (193) إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ عِبَادٌ أَمْثَالُكُمْ فَادْعُوهُمْ فَلْيَسْتَجِيبُوا لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (194) أَلَهُمْ أَرْجُلٌ يَمْشُونَ بِهَا أَمْ لَهُمْ أَيْدٍ يَبْطِشُونَ بِهَا أَمْ لَهُمْ أَعْيُنٌ يُبْصِرُونَ بِهَا أَمْ لَهُمْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا قُلِ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ كِيدُونِ فَلا تُنْظِرُونِ (195) إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نزلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ (196) وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَكُمْ وَلا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ (197) وَإِنْ تَدْعُوهُمْ إِلَى الْهُدَى لَا يَسْمَعُوا وَتَرَاهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ وَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ (198) }
Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya, dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan. Dan jika kamu (hai orang-orang musyrik) menyerunya (berhala) untuk memberi petunjuk kepadamu, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruanmu; sama saja (hasilnya) kamu menyeru mereka ataupun kamu berdiam diri. Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka serulah berhala-berhala itu, lalu biarkanlah mereka memperkenan­kan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar. Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu ia dapat berjalan, atau mempunyai tangan yang dengan tangan itu ia dapat memegang dengan keras, atau mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat, atau mempunyai telinga yang dengan itu ia dapat mendengar? Katakanlah, "Panggillah berhala-berhala kalian yang kalian jadikan sekutu-sekutu Allah,-kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-Ku, tanpa memberi tangguh (kepada-Ku)" Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al­Kitab (Al-Qur'an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh Dan berhala-berhala yang kalian seru selain Allah tidaklah sanggup menolong kalian, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri. Dan jika kalian menyeru (berhala-berhala) untuk memberi petunjuk, niscaya berhala-berhala itu tidak dapat mendengarnya. Dan kalian melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu, padahal mereka tidak melihat.
Ayat-ayat ini merupakan sikap ingkar Allah terhadap orang-orang musyrik yang menyembah Allah dan menyembah selain-Nya, yaitu tandingan-tandingan Allah, berhala-berhala dan patung-patung; padahal semuanya itu adalah makhluk Allah, membutuhkan perawatan, dan dibuat oleh manusia; ia sama sekali tidak memiliki sesuatu pun dari urusan itu, tidak dapat membahayakan, tidak dapat memberi manfaat, tidak dapat melihat, dan tidak dapat membela para pengabdinya. Bahkan berhala-berhala itu sendiri adalah benda mati, tidak dapat bergerak, tidak dapat mendengar dan tidak dapat melihat. Sesungguhnya para penyembahnya sendiri jauh lebih sempurna ketimbang berhala-berhalanya, karena mereka mempunyai pendengaran, penglihatan, dan kekuatan memukul. Karena itulah disebutkan oleh firman Allah Swt.:
{أَيُشْرِكُونَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ}
Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. (Al-A'raf: 191)
Artinya, apakah kalian mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang tidak dapat menciptakan sesuatu pun, dan selamanya sembahan-sembahan itu tidak akan mampu melakukan hal tersebut. Perihalnya sama dengan pengertian yang terdapat di dalam firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ * مَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ}
Hai manusia telah dibuatkan perumpamaan, maka dengarkanlah oleh kalian perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kalian seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa. (Al-Hajj: 73-74)
Melalui ayat-ayat ini Allah Swt. memberitakan bahwa sembahan-sembahan mereka, seandainya dikumpulkan semuanya, niscaya tidak akan dapat menciptakan seekor lalat pun. Bahkan seandainya lalat itu merebut sesuatu dari mereka —yaitu berupa makanan yang tidak berarti, lalu terbang— niscaya mereka tidak mampu mengambil kembali makanan itu darinya. Maka barang siapa yang memiliki sifat dan keadaan seperti itu, mana mungkin dapat dijadikan sebagai sembahan untuk dimintai rezeki dan pertolongannya? Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{لَا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ}
tidak dapat membuat sesuatu apa pun, sedangkan berhala itu sendiri dibuat orang (An-Nahl: 20; Al Furqan: 3)
Yakni bahkan berhala-berhala itu dibuat dijadikan oleh orang, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt dalam ayat berikut:
قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ
Apakah kalian menyembah patung-patung yang kalian pahat itu? (Ash-Shaffat: 95)
Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah berfirman:
{وَلا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ}
Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya, dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan. (Al-A'raf: 192) 
Berhala-berhala itu sama sekali tidak dapat memberikan pertolongan apa pun kepada mereka, bahkan terhadap dirinya sendiri. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s., beliau memecahkan berhala-berhala kaumnya dan mencemoohkannya dengan penghinaan yang berat, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
{فَرَاغَ عَلَيْهِمْ ضَرْبًا بِالْيَمِينِ}
Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulinya dengan tangan kanannya (dengan kuat). (Ash-Shaffat: 93)
Dalam ayat yang lain disebutkan pula melalui firman-Nya:
{فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ}
Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. (Al-Anbiya: 58)
Hal yang sama pernah dilakukan oleh Mu'az ibnu Amr ibnul Jamuh dan Mu'az ibnu Jabal ketika keduanya masih muda dan telah masuk Islam, yaitu di saat Rasulullah Saw. telah tiba di Madinah. Keduanya merusak berhala-berhala orang-orang musyrik di malam hari, yaitu dengan memecahkannya dan menjadikannya sebagai kayu bakar buat para janda, agar kaumnya mau mengambil pelajaran dari hal tersebut dan menyalahkan diri mereka sendiri.
Disebutkan bahwa Amr ibnul Jamuh —seorang pemimpin di kalangan kaumnya— mempunyai sebuah berhala yang menjadi sembahannya, ia selalu memberi berhalanya itu wewangian. Tersebut pula bahwa keduanya selalu datang kepadanya di malam hari, lalu membalikkan berhala itu dengan kepala di bawah dan melumurinya dengan kotoran hewan. Ketika Amr ibnul Jamuh melihat apa yang dilakukan terhadap berhalanya itu, maka ia memandikannya dan memberinya lagi wewangian, lalu meletakkan sebilah pedang di sisi berhala itu seraya berkata kepadanya, "Belalah dirimu!"
Mu'az ibnu Amr Ibnu Jamal dan Mu'az ibnu Jabal kembali melakukan hal itu terhadap berhala tersebut dari Amr Ibnul Jamuh pun kembali melakukan hal yang sama (yakni membersihkan dan memberinya wewangian). Kemudian pada akhirnya keduanya mengambil berhala itu dan mengikatnya bersama bangkai seekor anjing, lalu menggantungkannya dengan seutas tali di atas sebuah sumur yang ada di tempat itu. Ketika Amr ibnul Jamuh datang dan melihat hal tersebut, ia berpikir dan sampailah pada suatu kesimpulan bahwa agama yang dipeluknya itu adalah batil. Lalu ia membacakan sebuah syair:
تَالله لَوْ كُنتَ إِلَها مُسْتَدن ... لَمْ تَكُ والكَلْبُ جَمِيعًا فِي قَرنْ
Demi Allah, seandainya kamu adalah tuhan yang disembah, niscayalah kamu dan anjing tidak dapat dikumpulkan bersama-sama.
Akhirnya Amr ibnul Jamuh masuk Islam dan mengamalkan Islamnya dengan baik, lalu ia gugur dalam perang Uhud sebagai seorang yang mati syahid; semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada dia dan memberinya pahala yang memuaskannya, serta menjadikan surga Firdaus sebagai tempat tinggalnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَإِنْ تَدْعُوهُمْ إِلَى الْهُدَى لَا يَتَّبِعُوكُمْ
Dan jika kalian menyerunya untuk memberi petunjuk kepada kalian, tidaklah berhala-berhala itu dapat memperkenankan seruan kalian. (Al-A'raf: 193)
Artinya, berhala-berhala itu tidak dapat mendengar seruan orang yang menyerunya. Keadaannya akan tetap sama, baik di depannya ada orang yang menyerunya ataupun orang yang menggulingkannya, seperti yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim yang disitir oleh firman-Nya:
{يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلا يُبْصِرُ وَلا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا}
Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? (Maryam: 42)
Kemudian Allah Swt menyebutkan bahwa berhala-berhala itu adalah hamba-hamba Allah juga, sama dengan para penyembahnya. Dengan kata lain, berhala-berhala itu makhluk juga, sama dengan para penyembahnya. Bahkan manusia jauh lebih sempurna daripada berhala-berhala tersebut, karena manusia dapat mendengar, melihat, dan memukul; sedangkan berhala-berhala tersebut tidak dapat melakukan sesuatu pun dari hal itu.
Firman Allah Swt.:
{قُلِ ادْعُوا شُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ كِيدُونِ فَلا تُنْظِرُونِ}
Katakanlah, "Panggillah berhala-berhala kalian yang kalian jadikan sekutu-sekutu Allah." (Al-A'raf: 195), hingga akhir ayat.
Maksudnya, panggillah berhala-berhala itu untuk menolong kalian dari-Ku, janganlah kalian memberi masa tangguh barang sekejap pun untuk itu, dan berupayalah kalian dengan semampu kalian.
{إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نزلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ}
Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan Al­ Kitab (Al-Qur'an) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh (Al-A'raf: 196)
Yakni Allah-lah yang melindungiku dan memberikan kecukupan kepadaku, Dialah yang menolongku, hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan hanya kepada-Nya aku berlindung, Dia adalah Pelindungku di dunia dan akhirat. Dia adalah Pelindung semua orang yang saleh sesudahku. Hal ini semakna dengan perkataan Nabi Hud a.s. ketika berkata kepada kaumnya, seperti yang disitir oleh firman-Nya:
{إِنْ نَقُولُ إِلا اعْتَرَاكَ بَعْضُ آلِهَتِنَا بِسُوءٍ قَالَ إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ * مِنْ دُونِهِ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنْظِرُون * إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu. Hud menjawab, "Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah, dan saksikanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan dari selain-Nya Sebab itu, jatankanlah tipu daya kalian semuanya terhadapku dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus." (Hud: 54-56)
Semakna pula dengan perkataan Nabi Ibrahim kekasih Allah, seperti yang disitir oleh firman-Nya:
{أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ * أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الأقْدَمُونَ * فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلا رَبَّ الْعَالَمِينَ * الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ *}
Maka apakah kalian memperhatikan apa yang selalu kalian sembah, kalian dan nenek moyang kalian yang dahulu? Karena sesungguhnya apa yang kalian sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku. (Asy-Syu'ara: 75-78)
Sama juga dengan perkataan Nabi Ibrahim kepada orang tuanya dan kaumnya, seperti yang disitir oleh firman-Nya:
{إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ * إِلا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ * وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kalian sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yangmenjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi taufik kepadaku. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu. (Az-Zukhruf: 26-28)  
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ}
Dan berhala-berhala yang kalian seru selain Allah. (Al-A' rif: 197), hingga akhir ayat.
Ayat ini berkedudukan menguatkan apa yang disebutkan sebelumnya, hanya saja dalam ayat ini diungkapkan dalam bentuk khitab (sebagai lawan bicara), sedangkan pada sebelumnya disebutkan dengan ungkapan gaibah (yakni orang yang ketiga). Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
لَا يَسْتَطِيعُونَ نَصْرَكُمْ وَلا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ
tidaklah sanggup menolong kalian, bahkan tidak dapat menolong dirinya sendiri. (Al-A'raf: 197)
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَإِنْ تَدْعُوهُمْ إِلَى الْهُدَى لَا يَسْمَعُوا وَتَرَاهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ وَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ}
Dan jika kamu sekalian menyeru (berhala-berhala) untuk memberi petunjuk, niscaya berhala-berhala itu tidak dapat mendengarnya. Dan kamu melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu, padahal mereka tidak melihat. (Al-A'raf: 198)
Semakna dengan firman Allah Swt.:
إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ
Jika kamu sekalian menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruan kalian. (Fathir: 14), hingga akhir ayat.
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَتَرَاهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ وَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ}
Dan kamu melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu, padahal mereka tidak melihat. (Al-A'raf: 198)
Sesungguhnya dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ}
berhala-berhala itu memandang kepadamu. (Al-A'raf: 198)
Yakni menghadapi kamu dengan matanya yang melotot, seakan-akan dapat melihat, padahal berhala-berhala itu benda mati. Karena itulah dalam ayat ini disebutkan seperti makhluk yang berakal, sebab memang berhala-berhala mereka itu dibentuk seperti manusia (yakni patung manusia).
وَتَرَاهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ
Dan kamu melihat berhala-berhala itu memandang kepadamu (Al-A'raf: 198)
Dalam ayat ini diungkapkan dengan damir untuk makhluk yang berakal.
As-Saddi mengatakan, yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang musyrik (bukan berhala, pent.). Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Mujahid. Tetapi pendapat pertama adalah pendapat yang lebih utama, pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir dan dikatakan oleh Qatadah.
continue reading Al-A'raf, ayat 191-198

Al-A'raf, ayat 189-190

{هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ (189) فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ (190) }
Dialah Yang menciptakan kalian dari diri yang satu, dan darinya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah Tuhannyaseraya berkata, "Sesung­guhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah termasuk orang-orang yang bersyukur." Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang saleh, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya itu. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Allah Swt. mengingatkan, sesungguhnya Dia telah menciptakan semua umat manusia dari Adam a.s. Dia pulalah yang menciptakan istrinya —yaitu Hawa— dari dirinya, kemudian Allah menyebarkan manusia dari keduanya, seperti yang disebutkan dalam ayat lain:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ}
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan: dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. (Al-Hujurat: 13)
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا}
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya. (An-Nisa: 1)
Sedangkan dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا}
dan darinya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya (Al-A'raf: 189)
Maksudnya, agar dia cenderung dan merasa tenteram kepadanya, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً}
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. (Ar-Rum: 21)
Tiada kecenderungan di antara dua jiwa yang melebihi kecenderungan antara sepasang suami istri. Karena itulah Allah menyebutkan bahwa seorang penyihir adakalanya menggunakan tipu muslihatnya untuk memisahkan antara seseorang dengan istrinya.
{فَلَمَّا تَغَشَّاهَا}
Maka setelah dicampurinya. (Al-A'raf: 189)
Yakni setelah si lelaki menyetubuhi istrinya.
{حَمَلَتْ حَمْلا خَفِيفًا}
istrinya itu mengandung kandungan yang ringan. (Al-A'raf: 189)
Keadaan itu terjadi pada permulaan masa hamil, dalam masa ini seorang wanita yang mengandung tidak merasakan sakit apa pun karena sesungguhnya kandungannya itu hanya berupa nutfah, lalu 'alaqah, kemudian segumpal daging.
Firman Allah Swt.:
{فَمَرَّتْ بِهِ}
dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). (Al-A'raf: 189)
Menurut Mujahid, makna yang dimaksud ialah si istri menjalani masa hamilnya selama beberapa waktu. Telah diriwayatkan pula dari Al-Hasan dan Ibrahim An-Nakha'i serta As-Saddi hal yang semisal.
Maimun ibnu Mahran telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa makna yang dimaksud ialah si wanita menjalani kandungannya dengan ringan selama beberapa waktu.
Ayyub mengatakan, "Aku pernah bertanya kepada Al-Hasan mengenai firman-Nya: dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). (Al-A'raf: 189) Al-Hasan menjawab.”Seandainya aku seorang ahli bahasa, tentu aku mengetahui apa makna yang dimaksud.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). (Al-A'raf: 189) Yakni hamilnya mulai jelas.
Menurut Ibnu Jarir makna ayat tersebut ialah benih suami telah tertanam di dalam rahim si istri, si istri bangun dan tidur dengan mengandungnya selama beberapa waktu.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah si istri terus-menerus mengalami perubahan, hingga ia merasa ragu apakah dirinya sedang hamil atau tidak.
{فَلَمَّا أَثْقَلَتْ}
Kemudian tatkala dia merasa berat. (Al-A'raf: 189)
Maksudnya, kandungannya sudah mulai terasa berat.
Menurut As-Saddi, makna yang dimaksud ialah janin yang ada di dalam kandungannya mulai membesar.
{دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا}
keduanya bermohon kepada Allah Tuhannyaseraya berkata, "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, (Al-A'raf: 189)
Yang dimaksud dengan pengertian kata 'saleh' dalam ayat ini ialah seorang manusia yang utuh. Demikianlah menurut Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas; Adam dan Hawa merasa takut bila anaknya lahir berupa hewan.
Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Abul Buhturi dan Abu Malik, bahwa keduanya merasa takut bila anak yang dikandungnya nanti bukan berupa manusia. Sedangkan menurut Al-Hasan Al-Basri, makna yang dimaksud ialah sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak laki-laki.
{لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ. فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ}
tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur." Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang saleh, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. (Al-A'raf: 189-190)
Sehubungan dengan makna ayat ini ulama tafsir telah menuturkan banyak asar dan hadis yang akan kami kemukakan berikut ini disertai keterangan hal-hal yang sahih darinya.
Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya mengatakan bahwa:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ سُمْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "وَلَمَّا وَلَدَتْ حَوَّاءُ طَافَ بِهَا إِبْلِيسُ -وَكَانَ لَا يَعِيشُ لَهَا وَلَدٌ -فَقَالَ: سَمِّيهِ عَبْدَ الْحَارِثِ؛ فَإِنَّهُ يَعِيشُ، فَسَمَّتْهُ عَبْدَ الْحَارِثِ، فَعَاشَ وَكَانَ ذلك من وحي الشَّيْطَانِ وَأَمْرِهِ".
telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Ketika Hawa melahirkan, iblis berputar-putar mengelilinginya, dan Hawa tidak pernah mempunyai anak yang tetap hidup. Lalu iblis berkata, "Namailah dia Abdul Haris. maka sesungguhnya dia akan hidup.” Lalu Hawa menamai anaknya Abdul Haris. dan ternyata anaknya tetap hidup. Hal tersebut berasal dari inspirasi dan perintah setan.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Bandar, dari Abdus Samad ibnu Abdul Waris dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi telah meriwayatkannya di dalam kitab Tafsir-nya sehubungan dengan tafsir ayat ini, dari Muhammad ibnul Musanna, dari Abdus Samad dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan, "Hadis ini hasan garib. Kami tidak mengenalnya kecuali hanya melalui hadis Umar ibnu Ibrahim. Sebagian di antara mereka ada yang meriwayatkannya dari Abdus Samad tanpa me-rafa'-kannya." Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkannya melalui hadis Abdus Samad secara marfu'. Kemudian ia mengatakan bahwa hadis ini sahih sanadnya, tetapi keduanya (Bukhari dan Mus­lim) tidak mengetengahkannya. Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya di dalam kitab Tafsir, dari Abu Zar'ah Ar-Razi, dari Hilal ibnu Fayyad, dari Umar ibnu Ibrahim dengan sanad yang sama secara marfu'. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya melalui hadis Syaz ibnu Fayyad, dari Umar ibnu Ibrahim secara marfu'.
Menurut hemat kami, Syaz adalah Hilal itu sendiri, Syaz itu adalah nama julukannya. Tujuan utama dari pengetengahan jalur-jalur hadis ini untuk menunjukkan bahwa hadis ini ma'lul (ada celanya) dipandang dari tiga segi:
Pertama, Umar ibnu Ibrahim adalah seorang Basri. Ia dinilai siqah oleh Ibnu Mu'in, tetapi Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa Umar ibnu Ibrahim hadisnya tidak dapat dijadikan hujah. Tetapi Ibnu Murdawaih telah meriwayatkannya melalui hadis Al-Mu'tamir, dari ayahnya, dari Al-Hasan, dari Samurah secara marfu'.
Kedua, hal ini telah diriwayatkan pula dari perkataan Samurah sendiri dan tidak marfu' seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir, dari ayahnya; telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Abdullah, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abul Ala ibnusy Syikhkhir, dari Samurah ibnu Jundub, bahwa Adam menamakan anaknya dengan nama Abdul Haris.
Ketiga, Al-Hasan sendiri menafsirkan ayat ini dengan tafsiran lain. Seandainya hadis ini ada padanya dari Samurah secara marfu', niscaya dia tidak akan menyimpang darinya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Sahi ibnu Yusuf, dari Amr, dari Al-Hasan sehubungan dengan firman-Nya: maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya itu. (Al-A'raf: 190) Bahwa hal ini terjadi di kalangan sebagian pengikut agama-agama lain, bukan Adam.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saur, dari Ma' mar yang mengatakan bahwa Al-Hasan mengartikannya 'keturunan anak Adam dan orang-orang yang musyrik dari kalangan mereka sesudah Adam tiada', yakni makna firman-Nya: maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya itu. (Al-A'raf: 190)
Ibnu Jarir pun mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah yang mengatakan, "Dahulu Al-Hasan sering mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mereka yang disebutkan dalam ayat ini adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Allah memberi mereka anak-anak, lalu mereka menjadikannya sebagai orang Yahudi dan orang Nasrani.”
Semua sanad yang telah disebutkan di atas berpredikat sahih dari Al-Hasan, bahwa dia menafsirkan ayat ini dengan tafsiran tersebut. Tafsir yang dikemukakannya ini adalah yang terbaik untuk makna ayat ini. Seandainya hadis ini dinilai olehnya benar-benar dari Rasulullah Saw., niscaya Al-Hasan tidak mempunyai penafsiran yang menyimpang darinya, baik dia sendiri ataupun ulama lainnya; terlebih lagi bila mengingat takwa dan tingkatan wara'-nya. Hal ini menunjukkan bahwa hadis ini mauquf hanya, sampai kepada seorang sahabat. Tetapi dapat pula diinterpretasikan bahwa Al-Hasan Al-Basri menerimanya dari sebagian Ahli Kitab yang telah beriman, seperti Ka'b atau Wahb ibnu Munabbih dan lain-lainnya, seperti yang akan kami jelaskan kemudian. Pada prinsipnya kami berlepas diri dari penilaian marfu' terhadap hadis ini.
Adapun mengenai asar-asar, antara lain diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar, dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Hawa melahirkan banyak anak untuk Adam, lalu Adam menamakan mereka dengan nama depan Abdu, kemudian di-Mudaf-kan kepada lafaz Allah, antara lain Abdullah dan Ubaidillah serta nama-nama lainnya yang semisal, tetapi ternyata mereka mati. Kemudian datanglah iblis kepada keduanya, lalu berkata, "Sesungguhnya jika kamu berdua menamakan anakmu bukan dengan nama yang biasa kamu pakai, niscaya anakmu akan hidup." Selang beberapa lama Hawa melahirkan anak lagi untuk Adam, yaitu anak laki-laki. Maka Adam menamainya Abdul Haris. Hal inilah yang dikisahkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya: Dialah Yang menciptakan kalian dari diri yang satu (Al-A’raf: 189) Sampai dengan firman-Nya: maka keduanya menjadi sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya ituu. (Al-A'raf: 190) hingga akhir ayat.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas firman-Nya sehubungan dengan Adam: Dialah yang menciptakan kalian dari diri yang satu (Al A’raf :189) sampai dengan firman-Nya: dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). (Al-A'raf: 189) Yakni Hawa merasa ragu apakah dirinya mengandung atau tidak. Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya bermohon kepada Allah Tuhannyaseraya berkata, "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur. (Al-A'raf: 189) Kemudian setan datang kepada keduanya dan mengatakan, "Tahukah kamu apakah yang akan dilahirkan bagi kamu berdua, atau tahukah kamu apa yang akan bakal lahir, berupa hewan ataukah bukan?" Setan membisikkan kepada keduanya hal yang batil, sesungguhnya setan itu penyesat yang nyata. Sebelum itu Hawa melahirkan dua orang anak, lalu keduanya mati, maka setan berkata kepada keduanya (Adam dan Hawa), "Sesungguhnya kamu berdua jika tidak menamai anakmu bukan dengan namaku, niscaya dia akan keluar (lahir) dalam keadaan tidak sempurna, dan ia akan mati, sama dengan saudaranya yang terdahulu." Maka keduanya menamai anaknya dengan nama Abdul Haris. Yang demikian itulah hal yang disebutkan oleh firman Allah Swt.: Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang saleh, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya itu. (Al-A'raf: 190)
Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Syarik, dari Khasif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:   Tatkala Allah members kepada keduanya seorang anak yang saleh, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah diamtgerahkan Allah kepada keduanya itu. (Al-A'raf: 190); Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah Swt. telah berfirman: Dialah Yang menciptakan kalian dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya (Al-A'raf: 189) Yakni Adam telah mencampurinya. istrinya itu mengandung. (Al-A'raf: 189) Kemudian iblis datang kepada keduanya dan mengatakan, "Sesungguhnya aku adalah teman kamu berdua yang telah menyebabkan kamu berdua dikeluarkan dari surga, agar kamu berdua taat kepadaku atau aku akan menjadikan dua tanduk menjangan buat bayi yang ada dalam kandunganmu, lalu bayi itu akan keluar dari perutmu dengan membelah-nya." Iblis mengatakan bahwa ia akan melakukan anu dan anu seraya mengancam keduanya,'akhirnya keduanya menamai anaknya dengan nama Abdul Haris. Adam dan Hawa membangkang, tidak mau menuruti kata-kata ibiis, maka anaknya lahir dalam keadaan mati. Kemudian Hawa mengandung untuk kedua kalinya, dan iblis datang lagi kepadanya, lalu berkata, "Sesungguhnya aku adalah teman kamu berdua yang telah melakukan anu dan anu, maka sesungguhnya kamu harus melakukan anu dan anu atau aku akan melakukan anu dan anu," seraya menakut-nakuti keduanya. Keduanya menolak, tidak mau taat kepada iblis, akhirnya anak keduanya lahir dalam keadaan mati. Kemudian Hawa mengandung lagi untuk ketiga kalinya, dan iblis datang kepada keduanya, lalu mengatakan hal yang sama seperti sebelumnya. Karena keduanya ingin mempunyai anak, akhirnya keduanya menamakan anaknya dengan nama Abdul Haris (nama yang disarankan iblis). Hal itu disebutkan oleh firman-Nya: maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya itu. (Al-A'raf: 190)
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Asar ini telah diterima dari Ibnu Abbas oleh sejumlah murid-muridnya, seperti Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, dan Ikrimah. Sedangkan dari kalangan generasi berikutnya ialah Qatadah dan As-Saddi serta lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf dan sejumlah ulama Khalaf; dari kalangan ulama tafsir banyak sekali yang meriwayatkan asar ini. Seakan-akan asar ini —hanya Allah yang lebih mengetahui— dikutip dari kaum Ahli Kitab, mengingat Ibnu Abbas meriwayatkannya dari Ubay ibnu Ka'b.
Hal ini seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Jamahir, telah menceritakan kepada kami Sa’id yakni Ibnu Basyir, dari Uqbah, dari Qatadah, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa ketika Hawa mengandung, setan datang kepadanya dan berkata, "Maukah engkau menuruti nasihatku? Maka aku jamin anakmu lahir dengan selamat. Namailah anakmu Abdul Haris." Tetapi Hawa tidak melaksanakannya. Maka ketika ia melahirkan, anaknya itu meninggal dunia. Kemudian Hawa mengandung untuk kedua kalinya, dan setan mengatakan kepadanya perkataan yang sama, tetapi Hawa tidak melakukannya. Kemudian Hawa mengandung lagi untuk yang ketiga kalinya, setan datang lagi dan mengatakan, ""Jika engkau menaatiku, niscaya anakmu selamat; jika tidak, maka kelak anakmu lahir berupa hewan." Akhirnya keduanya merasa takut, dan keduanya menaati saran setan (iblis).
Asar-asar yang telah disebutkan di atas —hanya Allah yang lebih mengetahui-merupakan kisah-kisah Ahli Kitab. Di dalam sebuah hadis sahih dari Rasulullah Saw. disebutkan bahwa beliau Saw. pernah bersabda:
"إِذَا حَدَّثكم أَهْلُ الْكِتَابِ فَلَا تُصَدِّقُوهُمْ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ"
Apabila Ahli Kitab bercerita kepada kalian, maka janganlah kalian membenarkan mereka, jangan pula kalian mendustakan mereka.
Kemudian kisah-kisah mereka terbagi menjadi tiga bagian, di antaranya ada kisah-kisah yang telah kita ketahui kebenarannya melalui apa yang ditunjukkan oleh dalil dari Kitabullah atau dari Sunnah Rasul Saw. Ada kisah yang telah kita ketahui kedustaannya melalui dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. yang bersikap berbeda dengannya. Adapula yang tidak dibicarakan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul. Maka jenis kisah ini dibolehkan meriwayatkannya, karena ada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
"حَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرج"
Berceritalah dari kaum Bani Israil, tidak mengapa.
Jenis kisah inilah yang tidak dibenarkan, tidak pula didustakan, karena ada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
"فَلَا تُصَدِّقُوهُمْ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ"
Maka janganlah kalian membenarkan mereka, jangan pula kalian mendustakan mereka
Kisah yang telah disebutkan di atas dapat dikatakan termasuk ke dalam bagian yang kedua, dapat pula dikatakan termasuk ke dalam bagian yang ketiga; tetapi anggapan bagian yang ketiga masih memerlukan pertimbangan. Dengan kata lain, jika kisah itu datangnya dari seorang sahabat atau seorang tabi'in, maka dikategorikan ke dalam bagian yang ketiga.
Kami pribadi lebih cenderung mengikuti pendapat yang dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri. Sehubungan dengan takwil ayat ini ia mengatakan makna yang dimaksud dari konteks ayat ini adalah bukan menyangkut Adam dan Hawa, melainkan berkenaan dengan orang-orang musyrik dari kalangan keturunannya. Karena itulah Allah Swt. berfirman pada penghujung ayat ini. yaitu:
{فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ}
Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. (Al-A'raf: 190)
Selanjutnya Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa sebutan Adam dan Hawa pada permulaan merupakan pendahuluan yang mengawali perihal kedua orang tua yang akan disebutkan sesudahnya. Ungkapan seperti ini sama dengan kelanjutan sebutan seseorang dengan menyebutkan jenis atau predikatnya. Sama halnya dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّماءَ الدُّنْيا بِمَصابِيحَ
Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang. (Al-Mulk: 5), hingga akhir ayat.
Telah kita maklumi pula bahwa pelita-pelita tersebut —yakni bintang-bintang yang dijadikan sebagai hiasan langit— bukanlah merupakan sesuatu sarana untuk melempar. Sesungguhnya ungkapan ini merupakan kelanjutan dari penyebutan bintang-bintang, yaitu dengan beralih kepada penyebutan jenisnya. Hai seperti ini banyak didapat di dalam Al-Qur'an.
continue reading Al-A'raf, ayat 189-190